Kasta atau Soroh di Bali
Tulisan ini dikutip secara murni dari artikel/tulisan Bhagawan
Dwija(www.stithidharma.org). Mohon izin Bhagawan semata-mata demi
pencerahan umat yang masih diliputi awidya.
“Soroh” bisa diterjemahkan sebagai group of related families atau disingkat klan, yakni paguyuban orang-orang dari garis keturunan tertentu yang di Bali disebut sebagai “tunggal Kawitan”.
“Soroh” bisa diterjemahkan sebagai group of related families atau disingkat klan, yakni paguyuban orang-orang dari garis keturunan tertentu yang di Bali disebut sebagai “tunggal Kawitan”.
Definisi Kawitan beragam, ada yang mengatakan leluhur yang pertama kali
datang di Bali atau lahir di Bali, tetapi ada pendapat kedua yang
lebih moderat menyatakan bahwa Kawitan berakar dari kata wit artinya:
asal mula, sehingga Kawitan manusia adalah Brahman atau Hyang Widhi.
Pendapat kedua ini dikesampingkan sehingga pengertian yang pertama
menjadi lebih populer di masyarakat Hindu etnis Bali, walaupun dalam
aplikasinya tidak konsisten.
Misalnya Sri Kesari Warmadewa dari Muangthai yang mula pertama datang
di Bali tahun 913 M mempunyai keturunan bernama Airlangga. Selanjutnya
beliau mengembangkan keturunan yang banyak antara lain Sirarya
Kepakisan.
Kini di Bali tidak ada yang mengaku atau menyebut Kawitannya Kesari
Warmadewa atau Kawitan Airlangga, tetapi ada Kawitan Arya Kepakisan.
Demikian pula selanjutnya, Arya Kepakisan yang mengembangkan banyak
keturunan antara lain I Gusti Palengan diakui sebagai Kawitan oleh
soroh “Peladung” dan cicitnya yang bernama I Gusti Penyarikan Dauh Bale
Agung diakui sebagai Kawitan oleh soroh “Arya Dauh”.
Contoh lain yakni nama (bhiseka) Ida Dalem Sri Kresna Kepakisan yang
datang di Bali tahun 1350 M tidak digunakan sebagai nama Kawitan oleh
keturunan beliau, yang kini memilih menggunakan nama putra-putra beliau
sebagai Kawitan, antara lain Dalem Samprangan, Dalem Tarukan, dan
Dalem Sagening.
Demikian banyaknya ragam versi Kawitan sehingga di Bali dewasa ini ada puluhan nama-nama soroh.
Soroh dalam lingkup kecil disebut Dadia yang biasanya mempunyai Sanggah
Pamerajan khusus. Dadia bertujuan mempererat tali persaudaraan atau
pasemetonan, selain untuk kepentingan ritual dalam aspek pemujaan
leluhur.
Dalam lingkup yang lebih besar misalnya kesukuan Bali, soroh sering
menimbulkan perpecahan bila warga soroh satu dengan yang lainnya tidak
saling menghargai dan menghormati.
Lebih-lebih bila sejarah leluhur di masa silam diungkit-ungkit kembali
dengan fanatisme berlebihan sehingga timbul semacam “kelas-kelas” di
mana masing-masing menganggap kelasnya lebih tinggi dari yang lain.
Yang merasa kelasnya lebih tinggi, memandang soroh yang lain sebagai
parekan atau hambanya, padahal mungkin dahulu leluhur-leluhur mereka
bersaudara kandung.
Fanatisme soroh sering pula menimbulkan perseteruan bahkan permusuhan.
Suatu ketika di sebuah Desa di Buleleng ada kelompok soroh yang disebut
Dadia “X”. Entah apa sebabnya beberapa kepala keluarga tiba-tiba
menyatakan bahwa kawitan mereka bukan “X” tetapi “Y”.
Dadia yang terdiri dari puluhan kepala keluarga itupun pecah. Ada yang
tetap bertahan sebagai kawitan X dan ada yang ikut kawitan baru Y.
Perseteruan tidak dapat diselesaikan bertahun-tahun. Akhirnya diadakan
musyawarah dan Sanggah Pamerajan-pun dibagi-bagi dengan pembatas
tembok.
Masing-masing lalu membangun kembali Sanggah baru. Hubungan
kekeluargaan yang terjalin bertahun-tahun putus, tidak mengaku
bersaudara, tidak mesidi-kara (tidak saling menyembah atau tidak turut
terkena cuntaka) kendatipun ayah dan ibu kandung mereka sama.
Ceritra “lucu” masih banyak. Ada beberapa keluarga dari Dadia “A”
karena merasa nasib/ kehidupannya semakin buruk pergi ke balian (dukun)
bertanya di niskala (alam tidak nyata) kenapa gerangan mereka ditimpa
kemalangan bertubi-tubi.
Si dukun merem-melek menyatakan dirinya kerawuhan (intrance) roh
leluhur mereka seraya dengan sedih menasihati cucu-cicitnya bahwa
Kawitan mereka bukan soroh “A” tetapi soroh “B”.
Tercengang dan berbesar hati, mereka mengajak saudara-saudaranya yang
lain untuk percaya pada wejangan leluhur melalui si dukun. Tidak
semuanya setuju, sehingga Dadia itu pecah.
Dalam kasus ini Sanggah Pamerajan tidak dibagi-bagi, tetap utuh namun
“aneh” karena mempunyai dua hari piodalan yang diselenggarakan oleh
masing-masing kelompok, yaitu piodalan Bhatara Kawitan A di hari
Anggara Prangbakat , dan piodalan Bhatara Kawitan B di hari Buda Wage
Klawu.
Kawitan A dan B yang dihaturi piodalan distanakan di pelinggih yang sama, yaitu meru tumpang tiga.
Masih ada lagi ceritra yang lebih lucu. Ceritra awalnya sama seperti
kasus di atas, di mana dua saudara kandung masing-masing memilih
kawitan yang berbeda.
Si kakak ingin melaksanakan upacara Pitra Yadnya bagi ayahnya yang
sudah lama meninggal dunia. Tentu saja ia menggunakan tata-cara menurut
keyakinan kawitannya, sebut saja kawitan “C”.
Beberapa bulan kemudian si adik ingin pula menunaikan kewajiban bhakti
pada ayahnya lalu melaksanakan upacara Pitra Yadnya menurut keyakinan
kawitan lain, sebut saja “D”. Nah bagaimana mungkin satu arwah di-aben
dua kali dan dengan tata-laksana atribut soroh yang berbeda pula?
Kesibukan orang-orang Bali mencari identitas soroh terlihat sejak tahun
1960, menjelang upacara Eka Dasa Rudra yang diselenggarakan di Pura
Besakih tahun 1963.
Pemerintah Daerah Bali mengumumkan kepada rakyat agar mengadakan
upacara Pitra Yadnya bagi leluhur mereka sehingga menjelang Eka Dasa
Rudra kuburan-kuburan bersih dari dengkot (mayat yang ditanam).
Kebersihan kuburan ini perlu untuk menjaga kesucian jagad Bali. Ketika
itu banyak orang yang tidak tahu apa soroh-nya, terutama umat Hindu di
Buleleng, karena dahulu di kala leluhurnya bermigrasi dari Bali Selatan
sengaja menghilangkan identitas soroh mereka dengan berbagai alasan,
antara lain keselamatan jiwa dari ancaman hukuman raja.
Untuk upacara Pitra Yadnya (ngaben) identitas soroh sangat perlu,
karena salah satu sarana upacara yang bernama kajang memang berbeda
bagi setiap soroh. Mereka yang kemudian menemukan sorohnya melalui jasa
dukun saling berhubungan dengan orang yang se-soroh untuk membentuk
paguyuban.
Organisasi ini kemudian berkembang menjadi wadah yang efektif untuk
membina kerukunan dan menjalinan semangat kekeluargaan. Beberapa soroh
tertentu ada yang mendirikan yayasan yang bertujuan meningkatkan
kesejahteraan warganya.
Ada pula yang mengusahakan upacara diksa bagi warganya yang mampu
menjadi sulinggih (pendeta), sehingga sejak masa itulah adanya
gelar-gelar sulinggih selain Pedanda.
Ada tokoh politik yang “jeli” melihat potensi paguyuban soroh yang
mempunyai massa banyak, kemudian memanfaatkan soroh untuk jalur
kampanye. Media-pun ramai dengan berita menjelang Pilkada di Bali,
karena organisasi diselewengkan dari azas pendirian semula.
Memang benar, paguyuban soroh mestinya jangan dicampuri permainan
politik, karena jika demikian rakyat Bali akan semakin terpecah-belah
dengan berbagai dampak negatif.
Lebih jauh lagi hendaknya fanatisme soroh tidak perlu dikembangkan,
karena dapat mengarahkan umat Hindu jauh dari tujuan agama yang utama
yakni membina kasih sayang pada sesama mahluk ciptaan Hyang Widhi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar