Seperti yang kita pahami bersama, peranan Desa Adat(kini, Desa Pekraman
sesuai Perda Propinsi Bali, No.2 Tahun 2002-red), begitu signifikan
dalam berbagai sendi-sendi kehidupan masyarakat Bali pada umumnya.
Namun, patut kita sadari bahwa dari berbagai nilai positif yang ada,
ternyata dalam perjalanannya Desa Adat banyak menyimpan potensi konflik
yang lambat laun akan menjadi 'bom waktu' yang sewaktu-waktu bisa
meledak. Kenapa bisa demikian?
Desa Adat dalam Analisa SWOT
Penulis mencoba membedah dan mengurai menurut cara pandang penulis yang
sangat terbatas mengenai Desa Adat di Bali menurut analisa SWOT, yang
terdiri dari: Strength, Weakness, Opportunity, and Threats. Yaitu sebuah
cara analisa yang mencoba mengurai suatu permasalahan berdasarkan
Kelebihan/kekuatan, Kelemahan, Kesempatan/peluang, dan Tantangan
sehingga didapatkan sebuah perbandingan dan nilai-nilai dominan yang
dipakai untuk memecahkan suatu permasalahan.
Strength
Sesungguhnya Desa adat atau desa pekraman di Bali, merupakan warisan
adiluhung para leluhur Bali beratus-ratus tahun silam. Kalau melihat
dari sejarahnya, Desa Pekraman di Bali dicetuskan oleh seorang Mpu dari
tanah Jawa, yang bernama Mpu Kuturan, yang pada mulanya beliau
ditugaskan sebagai senapati untuk menata Bali. Sebelum kedatangan
beliau, sekte-sekte atau aliran kepercayaan di Bali tumbuh subur dan
sangat banyak. Diantaranya, Sekte Bhairawa, sekte Siwa, dan
lain-lainnya. Sehingga tidak mengherankan di Bali pada waktu itu,
konflik antar sekte/aliran kerap terjadi. Saling tikam, saling adu ilmu
hitam dan lain-lainnya. Maka, oleh Sang Mpu, dibawakanlah sebuah konsep
tata kelola pemerintahan adat di Bali, yang bernama Desa Pekraman.
Dalam sebuah rapat besar yang dihadiri oleh seluruh sekte-sekte yang ada
di Bali, tepatnya diadakan di sebuah Pura di Bali tengah(sekarang
bernama Pura Samuan Tiga), disepakati, seluruh sekte-sekte/sampradaya
dilebur menjadi tiga. Pada waktu itu sang pemimpin rapat akbar, yakni
Mpu Kuturan memperkenalkan konsep Kahyangan Tiga beserta perangkat
pendukung utamanya yakni Desa Adat/Pekraman. Konsepsi Kahyangan Tiga
atau Tri Kahyangan ini terdiri dari Kahyangan/Pura Desa, sebagai tempat
suci pemujaan terhadap manifestasi Tuhan sebagai Dewa Brahma,sebagai
pencipta, Kahyangan/Pura Puseh, sebagai tempat memuja Tuhan dalam
manisfestasinya sebagai Dewa Wisnu, simbul pemelihara dan Kahyangan/Pura
Dalem, sebagai tempat suci memuja manifestasi Tuhan sebagai Dewa Ciwa,
sebagai pemralina/mengembalikan segala sesuatu ke asalnya.
Komponen penyangga utama Tri Kahyangan ini adalah Desa Pekraman atau
Desa Adat. Segala macam bentuk aktifitas lahir bathin di desa Pekraman
dibungkus oleh pelaksanaan filosofi Tri Hita Karana dalam prakteknya.
Dengan daya dukung yang berlapis-lapis demikian, sebetulnya dapat kita
lihat secara langsung, betapa kokohnya pilar pulau Bali yang bernama
Desa Adat/Pekraman ini. Ditambah daya dukung yang secara riil dibuktikan
dengan kehidupan adat istiadat di Bali yang begitu kuat menjiwai agama
Hindu yang dipeluk mayoritas warga Bali.
Nilai-nilai kearifan lokal Bali seperti semangat menyame braya, sagilik-saguluk salulung sabayantaka sarpanaya (susah senang, senasib sepenanggungan), ngayah,
dan lain sebagainya sesunggguhnya dalam praktek dari zaman dulu sudah
menjadi jaminan akan betapa kuatnya ikatan bathin orang Bali, baik
terhadap keluarga, leluhur, Tuhan dan tanah kelahirannya. Local genius
diatas ditambah lagi dengan heroic power yang menjadi slogan leluhur
dan pejuang Bali pada masa perang melawan penjajah Belanda baik pada
masa perang kerajaan-kerajaan di Bali melawan Belanda maupun pada masa
revolusi fisik. Pembaca tentu masih ingat istilah ini, PUPUTAN! Sekali
kata powerful ini terpekik maka kobaran semangat laksana api nan membara
pasti akan terletup dari setiap sanubari orang Bali. Keunggulan orang
Bali juga terletak pada sikap ramah-tamah dan permisif terhadap tamu
yang datang. Sehingga tidak mengherankan ditambah daya dukung alam dan
budaya yang mempesona, sikap hospitality ini ternyata menjadikan pulau
dewata ini menjadi tempat wisata yang begitu terkenal di dunia. Umumnya,
wisatawan yang datang ke Bali memuji keramahan orang Bali. Dan ini pun
berlaku bagi orang-orang Bali yang merantau ke luar daerah/negeri. Sikap
ini seakan menjadi trade mark orang Bali kapan dan dimana saja.
Warisan alam, adat-istiadat dan budaya Bali merupakan jaminan lain bagi
setiap orang luar Bali untuk mengagumi Bali. Betapa tidak, hamparan alam
menghijau, pantai yang indah menawan, upacara adat yang tiada henti,
dan lain sebagainya, seakan melengkapi detak-detik denyut nadi kehidupan
masyarakat Bali yang sudah barang tentu menjadi konsumsi yang menarik
orang luar untuk 'menikmati' Bali.
Kelemahan/Weakness
Kalau kita lihat dari aspek daya dukung diatas(Strength-red), sepertinya
kita begitu terlena, dinina-bobokan oleh segala sesuatu yang indah
tentang kehidupan adat istiadat di Bali. Namun, disisi lain, kita harus
menyadari bahwa ada banyak celah yang kerapkali menjadi titik lemah
sehingga tidak mengherankan kita baca, dan jumpai terjadinya berbagai
konflik horizontal yang melibatkan semeton
Bali sendiri. Adapun Kelemahan-kelemahan tersebut akan penulis coba
membedahnya menjadi 2, yakni faktor internal dan faktor eksternal.
1. Faktor Internal
a. Mulai memudarnya rasa menyama braya dikalangan masyarakat Bali
Hal ini dikarenakan berbagai faktor, diantaranya persaingan ekonomi,
sosial, rasa iri hati dan orientasi masa depan yang mulai berbeda-beda.
b. Awig-Awig yang tidak fleksible
Harus diakui, ditengah persaingan global dewasa ini, keberadaan aturan
desa pekraman yang bernama awig-awig, masih cukup relevan dalam mengatur
tata-titi kehidupan sosial dalam lingkungan desa pekraman. Namun, harus
diakui pula dibeberapa wilayah desa pekraman di Bali, masih ada desa
yang memiliki awig-awig yang belum lentur. Contoh misalnya aturan
mengenai manak salah di salah satu wilayah desa di Bali. Belum lagi
masalah ngaben yang sering memicu konflik dibeberapa tempat dengan
berbagai faktor penyebabnya.
c. Perbedaan Visi dan Misi Warga
Seperti pada faktor nomer a, dengan berbagai faktor penyebabnya,
perbedaan pandang diantara warga desa acapkali berujung pada konflik
horisontal baik secara individu maupun kelompok. Dalam arti bahwa,
demokrasi( perbedaan pendapat ), masih sering dimaknai sebagai bentuk
permusuhan oleh sementara oknum dan kondisi ini sering menjadi ajang
provokasi sehingga menjadi suatu kondisi kontraproduktif kolektif.
d. Suryak Siyu, Kesepakatan Emosional
Di Bali ada istilah suryak siyu, yang berarti koor massal terhadap suatu
hal yang bisa berarti persetujuan atau penolakan terhadap sesuatu yang
pada mulanya dimulai oleh seseorang atau beberapa orang kemudian
menjadi persetujuan massal yang biasanya didasarkan atas gerak emosional
tanpa pertimbangan yang matang. Sikap ini acapkali melahirkan hal-hal
yang kontraproduktif terhadap suasana kondusif di lingkungan desa
pekraman.
Demikian sekilas beberapa faktor internal yang kerap penulis jumpai di
lingkungan penulis, sehingga perspektif ini bersifat debatable dan one
traffic perspective menurut penulis belaka.
2. Faktor Eksternal
Sedangkan faktor eksternal yang mendorong terjadinya pelemahan dari ketahanan masyarakat adat di Bali antara lain:
a. Serbuan pengaruh luar/asing/luar negeri secara masif baik melalui mobilisasi kependudukan maupun media.
Adanya migrasi kependudukan dari dalam wilayah Bali sendiri maupun dari
luar Bali kedalam menjadi salah satu penyebab tergerusnya nilai-nilai
kearifan lokal di Bali. Dikatakan demikian karena secara langsung maupun
tidak langsung hal ini berdampak kedalam secara fisik, maupun psikis.
Contoh sederhana, pengaruh budaya barat memakai bikini, atau pakaian
terbuka lainya, menjadi begitu biasa di Bali. Sistem rumah susun yang
banyak diterapkan di Jawa/Jakarta, menjadi tren di Bali dengan
keberadaan apartemen (yang merupakan kata lain rumah susun), kondominium
dan lain-lain.
Kecanggihan media massa baik elektronik maupun cetak memberi warna cukup
signifikan dalam rona kehidupan masyarakat Bali. Dan ini tidak dapat
dicegah karena semakin mudahnya akses terhadap kemajuan teknologi dewasa
ini. Hal ini, juga dikarenakan tingkat perekonomian masyarakat yang
semakin membaik karena dukungan sektor pariwisata yang menjadi andalan
Bali.
Perpindahan penduduk dari desa ke kota, dari luar Bali ke Bali juga
menjadi salah satu faktor pendorong pelemahan ini. Semua orang ingin
hidup lebih baik, dan kota adalah salah satu harapan untuk
mewujudkannya. Pulau Bali bagi pendatang luar daerah, ibaratnya seperti
gula yang membuat semut-semut kecil dan nakal berbondong-bondong datang
ingin menikmatinya. Disadari atau tidak, hal ini juga menimbulkan ekses
yang bisa melemahkan ketahanan masyarakat adat Bali. Dikatakan demikian,
karena setiap individu atau kelompok yang ber-migrasi ke Bali atau ke
kota Denpasar misalnya datang membawa budaya, kebiasaan masing-masing.
Dan ini tentu akan menyebabkan terjadinya persinggungan(pertemuan)
budaya. Kalau budaya berjodoh, maka akan terjadi akulturasi budaya. Nah
kalau tidak, nah ini, harus diwaspadai bisa menimbulkan kondisi
'ketidaknyamanan sosial budaya'.
b. Ketidaksesuaian Regulasi Nasional dengan Aturan Setempat
Hal lain yang bisa menyebabkan terjadinya goncangan sosial lokal(local
cultural shock, adalah adanya 'pemaksaan' peraturan pusat (pemerintah
RI), yang tidak sesuai dengan nafas kearifan lokal Bali. Misalnya
penerapan UU Pornografi secara nasional yang sampai saat ini masih ada
pada wilayah abu-abu alias 'saru gremeng'. Padahal kehidupan sosial
budaya Bali yang sudah berjalan dari ratusan tahun silam, dominan
mendobrak poin-poin krusial dalam UU Pornografi. Apalagi kecenderungan
multitafsir dalam penerapannya. Contoh: lukisan orang/wanita telanjang.
Dari kalangan seniman, pasti menilai lukisan tersebut dari sudut
estetika dan seni. Kalau ini dihadapkan pada ranah hukum UU pornografi,
kecenderungannya adalah adanya 'adu kesaktian' penafsiran secara yuridis
oleh para ahli hukum nantinya di meja pengadilan. Yang tentu akan
menguras waktu, dana dan pikiran. Atau memang ini yang diinginkan?
Supaya para ahli hukum ada kerjaan? Proyek? Who knows....
Opportunity/Peluang
Disamping poin-poin diatas, dari sekian kelebihan dan kelemahan yang
ada, tentu ada pula peluang atau kesempatan dalam memaknai permasalahan
Desa Adat dalam praktek nyata. Kuncinya adalah pada PENGELOLAAN ATAU
MANAJEMEN MASALAH. Dikatakan demikian karena dari kelebihan atau
kelemahan dari desa adat ini, kalau mengelola tidak bisa, maka
kehancuran sudah pasti. Dalam pengelolaan ini diperlukan leadership desa
pekraman yang baik. Di Bali sudah ada kearifan lokal seperti asta brata kepemimpinan. Subyek utama dari kata PENGELOLAAN ini adalah tentu faktor manusia-nya.Dan
ini adalah tugas semua pihak, mulai dari pengurus/prajuru desa
pekraman, warga desa,dan awig-awig sebagai aturan yang akomodatif.
Sedangkan pemerintah daerah Bali berserta jajarannya adalah bertindak
sebagai pengayom, pelindung yang netral dan senantiasa mencari win-win solution yang bijaksana.
Untuk mewujudkan hal diatas, tidaklah mudah dan perlu kerjasama semua
pihak. Untuk mewujudkan sesuatu yang baik, perlu perjuangan. Untuk itu,
diperlukan kesamaan langkah setiap komponen masyarakat desa pekraman
diatas perbedaan yang ada.
Threats/Tantangan
Tantangan yang dihadapi oleh desa pekraman di Bali seperti rumusan
metode diatas,bersumber dari dalam maupun dari luar(baca penjabaran
diatas-pen). Dan tantangan ini pun harus dipilah sebagai tantangan
jangka pendek ataupun tantangan jangka panjang. Dalam menghadapi
tantangan-tantangan ini, diperlukan kesiapan SDM (sumber daya manusia),
untuk itu diperlukan suatu sistem regenerasi kepemimpinan desa pekraman;
yang mana penulis amati sudah berjalan dengan adanya Sekehe
Teruna-teruni, Dedaha(perkumpulan warga muda) di tiap desa
pekraman. Dan ini adalah sumber kekuatan desa pekraman yang
sesungguhnya. Pendoktrinan filosofi luhur Tri Hita Karana haruslah
dijalankan secara konsekwen, berkelanjutan dan sungguh-sungguh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar